HOME OPINI DIDAKTIKA

  • Sabtu, 17 Juni 2023

Mempertentangkan Aturan Adat  Dalam Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck

Opini Sahel Ahksa
Opini Sahel Ahksa

Mempertentangkan Aturan Adat  dalam Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck

 

Oleh : Sahel Aksa Muslimin*

 

Sastra adalah institusi sosial yang memakai medium bahasa. Teknik-teknik sastra tradisional seperti simbolisme dan mantra bersifat sosial, karena merupakan konvensi dan norma masyarakat. Lagi pula sastra “menyajikan kehidupan”, dan “kehidupan” sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial, walaupun karya sastra juga “meniru” alam dan dunia subjektif manusia (Wellek dan Warren, 1989:109). Hubungan karya sastra dengan masyarakat pendukung nilai-nilai kebudayaan tidak dapat dipisahkan, karena sastra menyajikan kehidupan dan sebagian besar terdiri atas kenyataan sosial (masyarakat).

Walaupun karya sastra meniru  alam dan dunia subjektif manusia. Pembahasan hubungan karya sastra dan masyarakat biasanya bertolak dari fase De Bonald bahwa “sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat” (Wellek dan Warren, 1989:110). Sastrawan (pengarang) dalam menciptakan karyanya dipengaruhi dan mempengaruhi masyarakat, karya tidak hanya meniru kehidupan, tetapi juga membentuknya. Masyarakat (pembaca) berkemungkinan meniru gaya hidup tokoh-tokoh yang dihadirkan dalam karya. Sebagai media yang merefleksi alam semesta, sastra memeliki tempat dalam kehidupan masyarakat. Aspek sosial, budaya, politik, hukum, seni, agama dan sebagainya, menjadi bahan perbincangan dalam sastra. Sehingga hadirnya sastra tidak terhelakkan dari keberadaan masyarakat (manusia).

            Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka dapat dikatakan sebagai cerminan dari kehidupan. Kisah yang dihadirkan oleh Hamka merupakan realita kehidupan. Hamka memulai kisah seorang anak muda yang bergelar Pandekar Sutan. Kata Pandekar adalah orang yang pandai bersilat, sedangkan kata Sutan yaitu gelar adat Minangkabau, yang biasanya diberikan kepada lelaki yang sudah dewasa. Jadi Pandekar Sutan adalah seorang lelaki yang pandai bersilat dan kuat. Hal ini merupakan gambaran kehidupan masyarakat di Minangkabau, ketek banamo gadang bagala pepatah inilah yang menjadikan Hamka menulis tokoh dengan nama Sutan Pandeka. Setiap masyarakat Minangkabau yang telah dewasa pada masa itu berhak memakai gelar pada namanya.

            Dalam novel dikisahkan, pada suatu hari malang akan timbul, terjadilah pertengkaran di antara mamak dengan kemenakan. Pandekar Sutan bersikeras hendak menggadaikan setumpuk sawah, untuk belanjanya beristri. Pertengkaran ini mengakibatkan membuat Pangeran Sutan naik darah, karena perkataan mamaknya Datuk Mantari Labih “kalau akan berbini mesti lebih dahulu menghabiskan harta tua, tantu habis segenap sawah di Minangkabau ini. Inilah anak muda yang tidak tahu malu, selalu hendak menggadai, hendak mengangun” (hlm.6). Inilah yang membuat Sutan Pandekar naik darah, namun masih ditahannya. Namun Sutan Pandekar membalas perkataan mamaknya tadi “Mamak sendiri juga pernah menggadai, bukan untuk mengawinkan kemenakan, tetapi untuk mengawinkan anak mamak sendiri. beberapa tumpak sawah dikerjakan oleh istri mamak, kami tidak mendapatkan bagian” (hlm.6). Sehingga membuat mamaknya menjadi bertambah marah.

            “Itu jangan disebut, “kata Datuk Mantari Labih. “Itu kuasaku, saya mamak di sini, menghitamkan dan memutihkan kalian semuanya dan menggantungkan tinggi dan membuang jauh” (hlm.6). Ucap Datuk Mantari Labih. Kata menghitamkan dan memutihkan ini merupakan tanda. Kata hitam dan putih merupakan jenis dari warna. Putih indentik dengan kertas, sedangkan hitam merupakn petanda dari tinta. Menghitamkan dan memutihkan merupakan suatu tindakan, yaitu melegalkan sesuatu. Isitlah lain yang sering didengar adalah “hitam di atas putih”, yaitu sejenis surat yang melegalkan sesuatu. Maksudnya Datuk Mantari Labih memiliki wewenang terhadap melegalkan harat pusaka kaum, karena dia pemimpin. Sedangkan menggantung dan membuang adalah suatu perbuatan, menggantung merupakan meletakan sesuatu di atas, sedangkan membuang merupakan tindakan yang melepaskan sesuatu yang tidak berguna. Maksudnya Datuk Mantari Labih berhak atas tindakan mengambil dan melepaskan segala macam bentuk harta pusaka kaum.

            Setelah itu terjadilah keributan di rumah gadang, Datuk Mantari Labih mati akibat tertusuk Pisau Belati Pandekar Sutan. Kemudian Pandekar Sutan di bawa kepersidangan dan terus terang atas kesalahannnya, dia dibuang 15 tahun. Dia di buang ke pembuangan Cilacap dan kemudian di bawa ke Bugis. Karena Pangeran Sutan bergelar “jago’ maka dia dibawa ke tanah Mengkasar. Kata jago berarti seseorang yang kuat dalam pertempuran.

           

            Setelah masa buangan Pandekar Sutan habis, dia tidak mau lagi kembali ke kampung halamanya. “Meskipun batinnya amat ingin dan telah teragak hendak pulang, ditahannya, dilulurnya air matanya, biarlah Negeri Padang “dihitamkan” buat selama-lamanya” (hlm.8). kata dilulurnya air mata ini yaitu ditahan air matanya. Berarti kerinduan akan kampung halaman masih ada dalam pikiran Sutan Pandekar. Perasaan sedih tergambarkan dalam teks ini, kemudian kata “dihitamkan” juga menguatkan akan kampung halaman tetap ada dalam pikiran Sutan Pandekar. Kata “dihitamkan” yaitu memperjelas sesuatu, warna hitam sangat jelas jika goreskan di warna apa pun. Berarti Sutan Pendekar ada kerinduan akan kampung halaman, namun tidak mau untuk kembali ke sana karena dia merasa telah melakukan dosa. Warna hitam merupakan warna yang menakutkan. Dapat diibaratkan sesuatu dosa atau kesalahan. Sehingga pada akhir ayatnya Sutan Pandekar tak kunjung juga untuk kembali ke kampungnya.

            Ini baru pembukaan cerita yang dituliskan oleh Hamka. Kisah pada bab pembukaan ini begitu jelas tergambar, bahwa Hamka sangat mempertentangkan aturan adat yang terjadi. Demokrasi minim dalam kehidupan bermasyarakat. Siapa yang lebih tua, maka dia lah yang lebih benar. Selain itu, hal ini juga menggambarkan, sebenarnya aturan-aturan yang demikian akan menyebabkan perpecahan saja. Harta pusaka yang dikusai sewena-wena oleh yang memiliki kekuasaan akan mendatangkan keributan. Hamkasepertinya tidak suka dengan aturan yang demikian, yang dia gambarkan pada watak Datuk Manatari Labiah.

            Namun, hal yang lebih ingin disampaikan oleh Hamka adalah akibat dari mempertuankan adat. Akibat menjadikan adat harus sempurna banyak hal yang akan dikorbankan, termasuk perasaan dan kehidupan seseorang. Kisah itu adalah seorang pemuda yang menjalani hidup dengan pengharapan yang selalu sirna. Zainuddin adalah tokoh yang mengalami alur cerita yang demikian. Zainuddin merupakan tokoh sentral dalam novel ini, dia merupakan seorang yang tidak dianggap memiliki suku. Lahir dari seorang ayah keturunan Minangkabau dan ibu berdarah Mengkasar. Tinggal di Mengkasar tidak diakui oleh sukunya, begitupun sebaliknya. Pergi ke Minangkabau seperti orang asing saja. Seolah suku dan pengakuan dari kaum adat menjadi arti yang sangat penting dalam kehidupan.

            Di dalam novel dikisahkan, ketika Zainuddin hendak melamar Hayati, ninik-mamak kaum Hayati mempertanyakaan status adat si Zainuddin. Asal-usul Zainuddin menjadi permasalahannya. Ketidakjelasan asal-usul adat Zainuddin mejadi penghalang lamarannya terhadap Hayati. Hal ini membuktikan di era Hamka menuliskan novel ini, permasalahan dan pertentangan terhadap budaya dan adat sangat mengundang perhatian. Dari sinilah permulaan kegelisahan hati Zainuddin, penolakan terhadap lamarannya yang didasari pada ketidakjelasan status adatnya menjadikan Zainuddin frustasi dalam menjalani hidup.

            Hal inilah yang dipertentangkan oleh Hamka. Tentu saja apa yang dituliskannya dalam novel ini merupakan cerminan dari kehidupan pada saat itu, karena penulis sangat dipengaruhi oleh lingkungannya ketika menciptakan karya sastra. Latar pada novel ini adalah sekitar tahun1930-an, atau dalam teks ditulis “pagi-pagi hari Senin, 19 hari bulan Oktober 1936, Kapal Van Der Wijck yang menjalani lin……(191) sebagai petanda bahwa pada tahun itu kehidupan masyarakat sangat mentuhankan adat.

*Mahasiswa Prodi Sastra Minangkabau, Universitas Andalas

 


Tag :#Opini #Didaktika #Minangsatu

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com